a. Hans Robert Jauss: Horizon Harapan.
Teori sastra Jauss bergerak diantara teori sastra Marxisme dan Formalisme Rusia. Teori sastra Marxisme dipandang terlalu banyak menekankan sisi fungsi sosial dan kurang memperhatikan sisi estetik karya tersebut, di sisi lain, Formalisme Rusia dianggap terlalu menekankan nilai estetik karya sastra sehingga mengabaikan fungsi sosial sastra. Jauss berusaha untuk menjembatani kedua teori sastra tersebut, yaitu menggabungkan antara sejarah dan nilai estetik sastra. Dengan kata lain, karya sastra dianggap sebagai objek estetik yang memiliki implikasi estetik dan implikasi histories. Implikasi estetik timbul apabila teks dinilai dalam perbandingan dengan karya-karya lain yang telah dibaca, dan implikasi historis muncul karena perbandingan historis dengan rangkaian penerimaan atau resepsi sebelumnya.
Dari konsep ini kemudian diturunkan sebuah hubungan segitiga antara pengarang, karya, dan pembaca. Apabila pada teori Marxisme dan Formalisme pembaca dianggap sebagai obyek pasif, maka sebaliknya, pembaca dipandang sebagai obyek aktif yang dapat menginterpretasi karya (Jauss, 1982; 19).
Selain itu kontribusi Jauss adalah mengenalkan konsep resepsi dan tujuh tesis tentang horizon harapan pembaca sebagai berikut :
Karya sastra tidak bisa dipandang sebagai objek tunggal dan bermakna sama, seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Pembaca berhak untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra sesuai dengan pengalaman pembacaan masing-masing pembaca. Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh horizon-horizon harapan, pengalaman kesastraan dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan pengarang.
Sistem horizon harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen histories karya sastra, yang meliputi suatu prapemahaman mengenai genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan dari pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari.
Horizon harapan memungkinkan pembaca mengenali ciri artistic dari sebuah karya sastra. Jika ternyata masih ada jarak estetik antara horizon harapan dengan wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat mengubah harapan itu baik melalui penyangkalan terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal atau melalui kesadaran bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru.
Rekonstruksi horizon harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan diterima pada masa lampau akan menghasilkan berbagai varian resepsi dengan semangat jaman yang berbeda. Dengan demikian, pandangan platonis mengenai makna karya sastra yang objektif, tunggal, dan abadi untuk semua penafsir perlu ditolak.
Teori penerimaan estetik tidak hanya sekedar memahami makna dan bentuk karya sastra menurut pemahaman historis, tetapi juga menuntut pembaca agar memasukkan karya individual ke dalam rangkaian sastra agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks pengalaman sastra.
Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi historis tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap estetik, maka seseorang dapat menggunakan perpektif sinkronis untuk menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun hubungan antara sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam masa lampau. Sebuah sejarah sastra akan lebih mantap dalam pertemuan perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem sinkronis tetap harus membuat masa lampau sebagai elemen struktural yang tak dapat dipisahkan.
selain menampilkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan diakronis, tugas sejarah sastra adalah mengaitkannya dengan sejarah umum. Fungsi sosial dari karya sastra dapat terwujud dengan pengalaman sastra pembaca masuk ke dalam horison harapan mengenai kehidupannya yang praktis, membuat pembaca semakin memahami dunianya, dan akhirnya memberi pengaruh pada tingkah laku sosialnya.
b. Wolfgang Iser: Pembaca Implisit
Iser mengemukakan teori resepsinya dalam bukunya The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response (1978). Iser juga termasuk salah seorang penganut Mazhab Konstanz. Tetapi berbeda dari Jausz yang memperkenalkan model sejarah resepsi, Iser menganggap karya sastra sebagai suatu bentuk komunikasi. Dalam hal ini estetika tanggapan dianalisis dalam hubungan dialektika antara teks, pembaca, dan interaksi antara keduanya. Iser lebih memfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan pembaca (estetika pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser adalah pembaca implisit, bukan pembaca konkret individual. Pembaca implisit adalah suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu.
Iser mementingkan pelaksanaan teorinya pada soal kesan (wirkung). Iser menghendaki pembaca “melakukan” sesuatu dalam membaca suatu teks atau karya sastra. Dengan kata lain, kita sebagai pembaca diajak untuk menginterpretasikan sendiri makna-makna dalam karya, membentuk dunia sendiri sesuai dengan imajinasi kita masing-masing, menjadi tokoh-tokoh di dalamnya, dan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam karya tersebut. Melalui proses membaca ini, pembaca akan menciptakan kesan (wirkung), pembaca dapat menyatakan sikapnya, apakah ia berada di pihak pro atau kontra, sedih atau gembira, suka atau benci, dll.
Pendekatan Iser berbeda dari pendekatan Jausz, meskipun keduanya sama-sama menumpukkan perhatian kepada keaktifan pembaca dan kesanggupan pembaca menggunakan imainasinya, pada Iser, hal itu lebih terbatas kepada pembacaan yang berkesan tanpa pembaca perlu mengatakannya secara aktif. Berbeda dengan Jausz yang menghendaki adanya pembicaraan tentang berbagai pembaca dan horizon harapan mereka. Pada Iser, peranan karya cukup besar; bahkan kesan yang ada pada pembaca ditentukan oleh karya itu sendiri. Pada Jausz, peranan itu tidak penting, yang penting ialah aktivitas pembacanya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar