Sabtu, 22 November 2014

Sekilas Tentang Teori Strukturalisme

SEKILAS TENTANG TEORI STRUKTURALISME

A. PENDAHULUAN
Sepanjang tiga atau empat puluh tahun silam, fungsionalisme dan strukturalisme barangkali merupakan tradisi intelektual yang terkemuka dalam teori sosial. Dalam beberapa aspek, strukturalisme dan fungsionalisme memiliki kesamaan asal usul, dan sama-sama memiliki sifat penting. Silsilah keduanya dapat ditelusuri kembali ke Durkheim, seperti yang tercermin untuk contoh fungsionalisme melalui karya Radcliffe-Brown dan Malinoski, dan untuk strukturalisme dalam karya Saussure dan Mauss.

Dalam karya Saussure secara berurutan karya para penulis aliran Praha, strukturalisme muncul sebagai pendekatan terhadap linguistik. Namun dalam bentuk teori sosial, strukturalisme paling tepat didefinisikan sebagai penerapan model-model linguistik yang dipengaruhi oleh linguistik struktural untuk menjabarkan fenomena sosial dan kultural.

Strukturalisme merupakan gerakan pemikiran yang kembali ke bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dalam wacana ilmu-ilmu sosial, strukturalisme merupakan penerapan analisis bahasa ke wilayah sosial. Realitas sosial adalah “teks” atau bahasa, dan bahasa selalu memiliki dua sisi: bahasa sebagai parole (tuturan percakapan lisan sebagai sisi eksekutif bahasa) dan sebagai langue (sistem tanda atau tata bahasa), dan sebagai “tanda” (sign), dalam bahasa ada dua aspek: “penanda” (signifier) dan “petanda” (signified). Semenjak strukturalisme inilah muncul pendapat bahwa bahasa sebagai sistem tanda bersifat arbiter (arbitrary) .

Pergumulan antara ilmu sosial dan ilmu bahasa telah melahirkan perspektif baru yang membuka jalan bagi perkembangan kedua bidang ilmu tersebut. Ilmu bahasa semakin berkembang berkat penemuan-penemuan dalam bidang antropologi, demikian juga yang terjadi pada ilmu sosial atau antropologi yang perkembangannya banyak dipengaruhi oleh apra ahli bidang linguistik. Proses inilah yang kemudian melahirkan strukturalisme Levi-Strauss ini.


Untuk selanjutnya perkembangan teori dan teoritisi strukturalisme akan dideskripsikan melalui dua tokoh teori strukturalisme, yakni Ferdinand Saussure dan Levis-Strauss. Kedua teoritisi strukturalisme ini dalam teori-teori sosial memberikan kontribusi yang relatif dominan terkait kemunculan teori strukturalisme.

Kamis, 20 November 2014

Teori Sastra

Beranda

SENIN, 03 MEI 2010
Sosiologi Sastra
Sastra merupakan pencerminan masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya. Wellek dan Warren membahas hubungan sastra dan masyarakat sebagai
berikut:

Literature is a social institution, using as its medium language, a social
creation. They are conventions and norm which could have arisen only in society.
But, furthermore, literature ‘represent’ ‘life’; and ‘life’ is, in large
measure, a social reality, eventhough the natural world and the inner or
subjective world of the individual have also been objects of literary
‘imitation’. The poet himself is a member of society, possesed of a specific
social status; he recieves some degree of social recognition and reward; he
addresses an audience, however hypothetical. (1956:94)


Senada dengan pernyataan diatas, Damono mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang (2003:1). Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

Pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan itu disebut sosiologi sastra dengan menggunakan analisis teks untuk mengetahiu strukturnya, untuk kemudian dipergunakan memahami lebih dalam lagi gejala sosial yang di luar sastra (Damono, 2003:3).

Sosiologi adalah telaah tentang lembaga dan proses sosial manusia yang objektif dan ilmiah dalam masyarakat. Sosiologi mencoba mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada. Dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah ekonomi, agama, politik dan lain-lain — yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial— kita mendapatkan gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi, proses pembudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.

Sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama. Seperti halnya sosiologi, sastra juga berurusan dengan manusia dalam masyarakat sebagai usaha manusia untuk menyesuakan diri dan usahanya untuk mengubah masyarakat itu. Dengan demikian, novel dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarga, lingkungan, politik, negara, ekonomi, dan sebagainya yang juga menjadi urusan sosiologi. Dapat disimpulkan bahwa sosiologi dapat memberi penjelasan yang bermanfaat tentang sastra, dan bahkan dapat dikatakan bahwa tanpa sosiologi, pemahaman kita tentang sastra belum lengkap.

Rahmat Djoko Pradopo (1993:34) menyatakan bahwa tujuan studi sosiologis dalam kesusastraan adalah untuk mendapatkan gambaran utuh mengenai hubungan antara pengarang, karya sastra, dan masyarakat.


Pendekatan sosiologi sastra yang paling banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra dan landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya. Pandangan tersebut beranggapan bahwa sastra merupakan cermin langsung dari berbagai segi struktur sosial hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain. Dalam hal itu tugas sosiologi sastra adalah mengubungkan pengalaman tokoh-tokoh khayal dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal usulnya. Tema dan gaya yang ada dalam karya sastra yang bersifat pribadi itu harus diubah menjadi hal-hal yang bersifat sosial. 

Strukturalisme dan Tokoh-tokoh Pencetusnya

Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di dalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parodi (Hartoko, 1986: 135-136).

Istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. tetapi umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang menerapkan metode dan istilah-istilah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinan de Saussure (Abrams, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik, yang berpandangan bahwa karya sastra adalah ( tiruan kenyataan), teori ekspresif, yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang, dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.
Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup panjang dan berkembang secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya, strukturalisme di Perancis tidak memiliki kaftan erat dengan strukturalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semua pemikiran strukturalisme dapat dipersatukan dengan adanya pembaruan dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Jadi walaupun terdapat banyak perbedaan antara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa mereka semua memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Saussure 
(Bertens, 1985: 379-381).

Ferdinand de Saussure meletakkan dasar bagi linguistik modem melalui mazhab yang didirikannya, yaitu mazhab Jenewa. Menurut Saussure prinsip dasar linguistik adalah adanya perbedaan yang jelas antara signifiant (bentuk, tanda, lambang) dan signifie (yang ditandakan), antara parole (tuturan) dan langue (bahasa), dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas dan jelas ini ilmu bahasa dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang otonom, di mana fenomena bahasa dapat dijelaskan dan dianalisis tanpa mendasarkan dirt atas apa pun yang letaknya di luar bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang radikal dart pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Sistem dan metode linguistik mulai berkembang secara ilmiah dan menghasilkan teori-teori yang segera dapat diterima secara luas. Keberhasilan studi linguistik kemudian diikuti oleh berbagai cabang ilmu lain seperti antropologi, filsafat, psikoanalisis, puisi, dan analisis cerita.
Jan Mukarovsky memperkenalkan konsep kembar artefakta-objek-estetik. Sastra dianggap sebagai sebuah fakta semiotik yang tetap. Teks-teks sastra dianggap sebagai suatu tanda majemuk dalam konteks luas yang meliputi sistem-sistem sastra dan sosial.
Sklovsky mengembangkan konsep otomatisasi dan deotomatisasi, yang serupa dengan konsep Roman Jakobson tentang familiarisasi dan defamiliarisasi. Dasar anggapan mereka adalah bahwa bahasa sastra sering kali memunculkan gaya yang berbeda dari gaya bahasa sehari-hari maupun gaya bahasa ilmiah. Struktur bahasa ini pun sering kali menghadirkan berbagai pola yang menyimpang dan tidak biasa.
Roland Barthes danJulia Kristeva(Strukturalisme Perancis) mengambangkan seni penafsiran struktural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan sastra umumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspek-aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.
Teori strukturalisme sastra, sesuai dengan penjelasan di atas, dapat dipandang sebagai teori yang ilmiah mengingat terpenuhinya tiga ciri ilmiah.

ciri ilmiah tersebut adalah:
1.    Sebagai aktivitas yang bersifat intelektual, teori strukturalisme sastra mengarah pada tujuan yang jelas yakni eksplikasi tekstual,
2.    Sebagai metode ilmiah, teori ini memiliki cara kerja teknis dan rangkaian langkah-langkah yang tertib untuk mencapai simpulan yang valid, yakni melalui pengkajian ergosentrik,
3.    Sebagai pengetahuan, teori strukturalisme sastra dapat dipelajari dan dipahami secara umum dan luas serta dapat dibuktikan kebenaran cara kerjanya secara cermat.
Sumber : www.teori-sastratxt-notepad.pdf. corn

Topik yang berhubungan:



Rabu, 19 November 2014

Teori Sastra Strukturalis

PENDAHULUAN

Sebagai salah satu bentuk fenomena , kebenaran ilmu pengetahuan tentu tidaklah bersifat mutlak. Ilmu pengetahuan bukanlah wahyu Tuhan yang kebenarannya tidak dapat ditawar-tawar lagi. Teori sastra adalah bagian dari ilmu pengetahuan yang kebenarannya tidak bersifat mutlak itu. Oleh karena itu, selalu tersedia ruang kosong dari setiap teori sastra yang dapat diisi oleh siapa pun yang mempelajarinya. Ruang kosong itu terbuka bagi setiap orang untuk mengkritisi teori yang dipelajarinya.

Banyak aspek yang dapat dikritis dari sebuah teori sastra. Salah satu dari aspek tersebut adalah apa yang menjadi kelemahan dari teori sastra tersebut dalam tugasnya sebagai alat untuk menelaah karya sastra. Dalam hubungan dengan kajian atau analisis karya sastra, sebuah teori sastra adalah sebuah "pisau bedah" yang digunakan untuk "mengoperasi" karya sastra tersebut. Tidak setiap pisau bedah cocok untuk digunakan dalam setiap operasi pembedahan. Di samping tergantung dari anatomi tubuh manusia yang akan dioperasinya, juga tergantung dari jenis penyakitnya.

Demikian pula halnya dengan teori sastra. Tidak sembarang teori sastra dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra. Lebih tepatnya, tidak sembarang teori sastra dapat digunakan untuk mencapai tujuan dari analisis yang dilakukan terhadap karya sastra tersebut. Pilihan teori sastra sebagai pisau bedah analisis tergantung dari tujuan yang hendak dicapai dari analisis karya sastra tersebut. Namun, sesuai dengan kedudukannya sebagai salah satu bentuk fenomena dalam definisi Imannuel Kant, teori sastra sebagai pisau bedah memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Kelemahan (atau kekurangan) dari masing-masing teori sastra dalam fungsinya sebagai alat analisis karya sastra itulah yang menjadi perhatian penulis untuk disajikan dalam kertas-tugas ini.

TEORI SASTRA STRUKTURALIS

Pada abad 20 di Barat terjadi perubahan haluan yang berangsur-angsur dalam ilmu sastra. Pergeseran yang umum dapat dilihat di bidang ilmu-ilmu kemanusiaan ialah pergeseran dari pendekatan historik atau diakronik ke pendekatan sinkronik –bersangkutan dengan peristiwa yang terjadi di suatu masa yang terbatas dengan mengabaikan perkembangannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi II : 946)- dan sekaligus dapat disaksikan secara khas pergeseran dari pendekatan sastra sebagai sarana untuk pengetahuan lain ke arah sastra sebagai bidang kebudayaan yang otonom.

Dibidang ilmu bahasa, telah disebut nama Ferdinand de Saussure, yang membawa perputaran perspektif yang cukup radikal dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Penelitian bahasa menurut pendapat ini harus mendahulukan bahasa sebagai system yang sinkronik, makna dan fungsi unsur-unsurnya hanya dapat dipahami dalam keterkaitan dengan unsur-unsur lain. Sifat utama bahasa sebagai system tanda ialah sifat relasionalnya yang berarti keseluruhan relasi atau oposisi antara unsur-unsur dan aspek-aspeknya harus diteliti dan dipahami lebih dahulu baru kemudian secara efektif dapat ditelusuri perubahannya dalam sejarah. Konsepsi yang demikianlah merupakan awal mula aliran ilmu bahasa yang disebut strukturalis yang kemudian berpuluh-puluh tahun lamanya menjadi dominan dalam ilmu bahasa, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat.

Telaah sastra merupakan tahap awal dalam penelitian karya sastra yang harus dilakukan untuk mengetahui karya satra itu berkualitas apa tidak, tetapi untuk mengetahui hal tersebut tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi saja melainkan harus dari semua elemen secara keseluruhan. Analisis struktural merupakan salah satu cara untuk mengetahui kualitas sastra, dan merupakan jembatan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam karya sastra. Oleh karena itu, peneliti hendaknya tidak terjebak dalam analisis struktural sebab tujuan utama dalam penelitian adalah mengkaji makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra. Fananie (2000: 76) penilaian karya sastra yang baik tidak hanya dinilai berdasarkan pada salah satu elemennya melainkan harus dilihat secara keseluruhan. Oleh karena itu, karya sastra yang hanya bagus dalam salah satu aspeknya, belum dapat dikatakan sebagai sastra yang berkualitas atau sastra yang baik, begitu juga sebaliknya.

Analisis struktural sastra disebut juga pendekatan objektif dan menganalisis unsur intrinsiknya, Fananie (2000: 112) mengemukakan bahwa pendekatan objektif adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan. Pendekatan yang dinilai dari eksistensi sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi tersebut misalnya, aspek-aspek instrinsik sastra yang meliputi kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot (setting), karakter. Yang jelas, penilaian yang diberikan dilihat dari sejauh mana kekuatan atau nilai karya sastra tersebut berdasarkan keharmonisan semua unsur pembentuknya. Pada aspek ini semua karya sastra baru bisa disebut bernilai apabila tiap-tiap unsur pembentuknya (unsur intrinsiknya) tercermin dalam strukturnya, seperti tema, karakter, plot (setting).

Bahasa merupakan satu kesatuan yang utuh. Kesatuan yang mencerminkan satu harmonisasi sebagaimana yang dituntut dalam kriteria estetik. Sebuah struktur mempunyai tiga sifat yaitu totalitas, trasformasi, dan pengaturan diri. Transformasi yang dimaksud bahwa struktur terbentuk dari serangkaian unsur, tetapi unsur-unsur itu tunduk kepada kaidah-kaidah yang mencirikan sistem itu sebagai sistem. Dengan kata lain, susunannya sebagai kesatuan akan menjadi konsep lengkap dalam dirinya. Transformasi dimaksudkan bahwa perubahan-perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur dan mengakibatkan hubungan antarstruktur menjadi berubah pula. Pengaturan diri dimaksudkan bahwa sruktur itu dibentuk oleh kaidah-kaidah instrinsik dari hubungan antarunsur yang akan mengatur sendiri bila ada unsur yang berubah atau hilang (Peaget dalam Sangidu, 2004: 16). Transformasi yang terjadi pada sebuah struktur karya sastra bergerak dan melayang-layang dalam teksnya serta tidak menjalar keluar teksnya. Karya sastra sebagai sebuah struktur merupakan sebuah bangunan yang terdiri atas berbagai unsur, yang satu dengan yang lainnya saling berkaitan. Karena itu, setiap perubahan yang terjadi pada sebuah unsur struktur akan mengakibatkan hubungan antarunsur menjadi berubah. Perubahan hubungan antarunsur pada posisinya itu secara otomatis akan mengatur diri (otoregulasi) pada posisinya semula (Peaget dalam Sangidu, 2004: 16).

Struktur bukanlah suatu yang statis, tetapi merupakan suatu yang dinamis karena didalamnya memiliki sifat transformasi. Karena itu, pengertian struktur tidak hanya terbatas pada struktur (structure), tetapi sekaligus mencakup pengertian proses menstruktur (structurant) (Peaget dalam Sangidu, 2004: 16). Dengan demikian, teori struktural adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.

Menurut Stanton (2007:20) membagi unsur-unsur instrinsik yang dipakai dalam menganalisis struktural karya sastra diantaranya, alur, karakter, latar, tema, saranasarana sastra, judul, sudut pandang, gaya dan tone, simbolisme dan ironi.

Alur : Stanton, (2007: 26) mengemukakan bahwa alur adalah rangkaian-rangkaian dalam sebuah cerita.

Karakter (penokohan) : Stanton (2007: 33) mengemukakan bahwa karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita seperti ketika ada orang yang bertanya; "Berapa karakter yang ada dalam cerita itu?". Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu.

Latar : Stanton (2007: 35) mengemukakan bahwa latar (setting) adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.

Tema : Stanton (2007: 36) mengemukakan bahwa tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan "makna" dalam pengalaman manusia; suatu yang menjadikan suatu pengalaman yang iangkat.

Sarana-Sarana Sastra : Stanton (2007: 46) mengemukakan bahwa sarana sastra dapat diartikan sebagai metode pengarang memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai polapola yang bermakna. Metode ini perlu karena dengannya pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi.

Judul : Stanton (2007: 51) mengemukakan bahwa judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan. Pendapat ini dapat diterima ketika judul menuju pada sang karakter utama atau satu latar.

Sudut pandang : Stanton (2007: 53) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah posisi tokoh dalam cerita.

Gaya dan Tone : Stanton (2007: 61) mengemukakan bahwa gaya atau tone dalam sastra adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa.

Simbolisme : Stanton (2007: 64) mengemukakan bahwa simbol adalah tanda-tanda yang digunakan untuk melukiskan atau mengungkapkan sesuatu dalam cerita.

Ironi : Stanton (2007: 71) mengemukakan bahwa secara umum ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya.


Pada prinsipnya, analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, serinci dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan karya menyeluruh. Analisis structural bukanlah penjumlahan anasir-anasir itu, misalnya tidak cukup didaftarkan semua kasus aliterasi, asonansi, rima akhir, rima dalam, inverse sintaksis, metaphor dan metonimi dengan segala macam peristilahan yang muluk-muluk, dengan apa saja yang secara formaldapat diperhatikan pada sebuah sajak, atau dalam hal roman pun tidak cukup semacam enumerasi gejala-gejala yang berhubungan dengan aspek waktu, ruang, perwatakan, point of view, sorot balik dan apa saja. Yang penting justru sumbangan yang diberikan oleh semua gejala semacam ini pada keseluruhan makna dalam keterkaitan dan keterjalinannya, juga dan justru antara berbagai tataran (fonik, morfologis, sintaksis, semantic).

Sabtu, 15 November 2014

Tokoh Teori Resepsi Sastra

a.   Hans Robert Jauss: Horizon Harapan.

Teori sastra Jauss bergerak diantara teori sastra Marxisme dan Formalisme Rusia. Teori sastra Marxisme dipandang terlalu banyak menekankan sisi fungsi sosial dan kurang memperhatikan sisi estetik karya tersebut, di sisi lain, Formalisme Rusia dianggap terlalu menekankan nilai estetik karya sastra sehingga mengabaikan fungsi sosial sastra. Jauss berusaha untuk menjembatani kedua teori sastra tersebut, yaitu menggabungkan antara sejarah dan nilai estetik sastra. Dengan kata lain, karya sastra dianggap sebagai objek estetik yang memiliki implikasi estetik dan implikasi histories. Implikasi estetik timbul apabila teks dinilai dalam perbandingan dengan karya-karya lain yang telah dibaca, dan implikasi historis muncul karena perbandingan historis dengan rangkaian penerimaan atau resepsi sebelumnya.
Dari konsep ini kemudian diturunkan sebuah hubungan segitiga antara pengarang, karya, dan pembaca. Apabila pada teori Marxisme dan Formalisme pembaca dianggap sebagai obyek pasif, maka sebaliknya, pembaca dipandang sebagai obyek aktif yang dapat menginterpretasi karya (Jauss, 1982; 19).
Selain itu kontribusi Jauss adalah mengenalkan konsep resepsi dan tujuh tesis tentang horizon harapan pembaca sebagai berikut :
Karya sastra tidak bisa dipandang sebagai objek tunggal dan bermakna sama, seperti anggapan tradisional mengenai objektivitas sejarah sebagai deskripsi yang tertutup. Pembaca berhak untuk memberikan penilaian terhadap karya sastra sesuai dengan pengalaman pembacaan masing-masing pembaca. Koherensi karya sastra sebagai sebuah peristiwa terutama dijembatani oleh horizon-horizon harapan, pengalaman kesastraan dan horizon harapan pembaca, kritikus, dan pengarang.
Sistem horizon harapan pembaca timbul sebagai akibat adanya momen histories karya sastra, yang meliputi suatu prapemahaman mengenai genre, bentuk, dan tema dalam karya yang sudah diakrabi, dan dari pemahaman mengenai oposisi antara bahasa puitis dan bahasa sehari-hari.
Horizon harapan memungkinkan pembaca mengenali ciri artistic dari sebuah karya sastra. Jika ternyata masih ada jarak estetik antara horizon harapan dengan wujud sebuah karya sastra yang baru, maka proses penerimaan dapat mengubah harapan itu baik melalui penyangkalan terhadap pengalaman estetik yang sudah dikenal atau melalui kesadaran bahwa sudah muncul suatu pengalaman estetik yang baru.
Rekonstruksi horizon harapan terhadap karya sastra sejak diciptakan diterima pada masa lampau akan menghasilkan berbagai varian resepsi dengan semangat jaman yang berbeda. Dengan demikian, pandangan platonis mengenai makna karya sastra yang objektif, tunggal, dan abadi untuk semua penafsir perlu ditolak.
Teori penerimaan estetik tidak hanya sekedar memahami makna dan bentuk karya sastra menurut pemahaman historis, tetapi juga menuntut pembaca agar memasukkan karya individual ke dalam rangkaian sastra agar lebih dikenal posisi dan arti historisnya dalam konteks pengalaman sastra.
Apabila pemahaman dan pemaknaan sebuah karya sastra menurut resepsi historis tidak dapat dilakukan karena adanya perubahan sikap estetik, maka seseorang dapat menggunakan perpektif sinkronis untuk menggambarkan persamaan, perbedaan, pertentangan, ataupun hubungan antara sistem seni sejaman dengan sistem seni dalam masa lampau. Sebuah sejarah sastra akan lebih mantap dalam pertemuan perspektif sinkronis dan diakronis. Jadi, sistem sinkronis tetap harus membuat masa lampau sebagai elemen struktural yang tak dapat dipisahkan.
selain menampilkan sistem-sistem karya sastra secara sinkronis dan diakronis, tugas sejarah sastra adalah mengaitkannya dengan sejarah umum. Fungsi sosial dari karya sastra dapat terwujud dengan pengalaman sastra pembaca masuk ke dalam horison harapan mengenai kehidupannya yang praktis, membuat pembaca semakin memahami dunianya, dan akhirnya memberi pengaruh pada tingkah laku sosialnya.

b.   Wolfgang Iser: Pembaca Implisit
Iser mengemukakan teori resepsinya dalam bukunya The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response (1978). Iser juga termasuk salah seorang penganut Mazhab Konstanz. Tetapi berbeda dari Jausz yang memperkenalkan model sejarah resepsi, Iser menganggap karya sastra sebagai suatu bentuk komunikasi. Dalam hal ini estetika tanggapan dianalisis dalam hubungan dialektika antara teks, pembaca, dan interaksi antara keduanya. Iser lebih memfokuskan perhatiannya kepada hubungan individual antara teks dan pembaca (estetika pengolahan). Pembaca yang dimaksud oleh Iser adalah pembaca implisit, bukan pembaca konkret individual. Pembaca implisit adalah suatu instansi di dalam teks yang memungkinkan terjadinya komunikasi antara teks dan pembacanya. Dengan kata lain, pembaca yang diciptakan oleh teks-teks itu sendiri, yang memungkinkan kita membaca teks itu dengan cara tertentu.
Iser mementingkan pelaksanaan teorinya pada soal kesan (wirkung). Iser menghendaki pembaca “melakukan” sesuatu dalam membaca suatu teks atau karya sastra. Dengan kata lain, kita sebagai pembaca diajak untuk menginterpretasikan sendiri makna-makna dalam karya, membentuk dunia sendiri sesuai dengan imajinasi kita masing-masing, menjadi tokoh-tokoh di dalamnya, dan merasakan sendiri apa yang dirasakan oleh tokoh-tokoh dalam karya tersebut. Melalui proses membaca ini, pembaca akan menciptakan kesan (wirkung), pembaca dapat menyatakan sikapnya, apakah ia berada di pihak pro atau kontra, sedih atau gembira, suka atau benci, dll.

Pendekatan Iser berbeda dari pendekatan Jausz, meskipun keduanya sama-sama menumpukkan perhatian kepada keaktifan pembaca dan kesanggupan pembaca menggunakan imainasinya, pada Iser, hal itu lebih terbatas kepada pembacaan yang berkesan tanpa pembaca perlu mengatakannya secara aktif. Berbeda dengan Jausz yang menghendaki adanya pembicaraan tentang berbagai pembaca dan horizon harapan mereka. Pada Iser, peranan karya cukup besar; bahkan kesan yang ada pada pembaca ditentukan oleh karya itu sendiri. Pada Jausz, peranan itu tidak penting, yang penting ialah aktivitas pembacanya sendiri. 

Kamis, 13 November 2014

Teori Feminisme dalam Penelitian Sastra

 27 April 2013 

Feminisme lahir awal abad ke 20, yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang berjudul A Room of One’s Own (1929). Secara etimologis feminis berasal dari kata femme (woman), berarti perempuan yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan (jamak), sebagai kelas sosial. Tujuan feminis adalah keseimbangan, interelasi gender. Dalam pengertian yang lebih luas, feminis adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan, disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.

Teori feminis sebagai alat kaum wanita untuk memperjuangkan hak-haknya, erat berkaitan dengan konflik kelas ras, khususnya konflik gender. Dalam teori sastra kontemporer, feminis merupakan gerakan perempuan yang terjadi hampir di seluruh dunia. Gerakan ini dipicu oleh adanya kesadaran bahwa hak-hak kaum perempuan sama dengan kaum laki-laki. Keberagaman dan perbedaan objek dengan teori dan metodenya merupakan ciri khas studi feminis. Dalam kaitannya dengan sastra, bidang studi yang relevan, diantaranya: tradisi literer perempuan, pengarang perempuan, pembaca perempuan, ciri-ciri khas bahasa perempuan, tokoh-tokoh perempuan, dan sebagainya.

Dalam kaitannya dengan kajian budaya, permasalahan perempuan lebih banyak berkaitan dengan kesetaraan gender. Feminis, khususnya masalah-masalah mengenai wanita pada umumnya dikaitkan dengan emansipasi, gerakan kaum perempuan untuk menuntut persamaan hak dengan kaum laki-laki, baik dalam bidang politik dan ekonomi, maupun gerakan sosial budaya pada umumnya. Dalam sastra emansipasi sudah dipermasalahkan sejak tahun 1920-an, ditandai dengan hadirnya novel-novel Balai Pustaka, dengan mengemukakan masalah-masalah kawin paksa, yang kemudian dilanjutkan pada periode 1930-an yang diawali dengan Layar Terkembang karangan Sutan Takdir Aliajahbana.

Contoh-contoh dominasi laki-laki, baik dalam bentuk tokoh-tokoh utama karya fiksi yang terkandung dalam karya sastra maupun tokoh faktual sebagai pengarang dapat dilihat baik dalam sastra lama maupun sastra modern. Kesadaran berubah sejak tahun 1970-an, sejak lahirnya novel-novel populer, yang diikuti dengan hadirnya sejumlah pengarang dan tokoh perempuan. Sebagai pengarang wanita memang agak jarang. Sepanjang perjalanan sejarah sastra Indonesia terdapat beberapa pengarang perempuan, antara lain: Sariamin, Hamidah, Suwarsih Djojopuspito, Nh. Dini, Oka Rusmini, Ayu Utami, Dee, dan lain-lain.

Menurut Salden(1986: 130-131), ada lima masalah yang biasa muncul dalam kaitannya dengan teori feminis, yaitu a) masalah biologis, b) pengalaman, c) wacana, d) ketaksadaran, dan e) masalah sosioekonomi. Perdebatan terpentinag dalam teori feminis timbul sebagai akibat masalah wacana sebab perempuan sesungguhnya termarginalisasikan melalui wacana yang dikuasaioleh laki-laki. Pada dasarnya teori feminis dibawa ke Indonesia oleh A. Teeuw. Kenyataan ini pun sekaligus membuktikan bahwa teori-teori Barat dapat dimanfaatkan untuk menganalisis sastra Indonesia, dengan catatan bahwa teori adalah alat, bukan tujuan.

Pemikiran feminis tentang kesetaraan gender sudah banyak diterima dan didukung baik oleh kalangan perempuan sendiri maupun oleh kalangan laki-laki. Dukungan ini terlihat melalui penerimaan masyarakat terhadap kaum perempuan di bidang-bidang yang tadinya hanya didominasi oleh kaum laki-laki, melalui tulisan dan media.

Daftar Pustaka:

Kutha Ratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Denpasar: Pustaka Pelajar


Sardjon, Asmowati, dkk. 2008. Estetika Sastra, Seni, dan Budaya. Fakultas Bahasa & Seni Universitas Negeri Jakarta.

Selasa, 11 November 2014

Pengertian dan Sejarah Teori Strukturalisme

08/04/2012

TEORI STRUKTURALISME



1. Pengertian

     Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di dalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parodi (Hartoko, 1986: 135-136).


        Istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. tetapi umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang menerapkan metode dan istilah-istilah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinan de Saussure (Abrams, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik, yang berpandangan bahwa karya sastra adalah ( tiruan kenyataan), teori ekspresif, yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang, dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.



Menurut Para Ahli:

1). Ferdinand de Saussure
Meletakkan dasar bagi linguistik modem melalui mazhab yang didirikannya, yaitu mazhab Jenewa. Menurut Saussure prinsip dasar linguistik adalah adanya perbedaan yang jelas antara signifiant (bentuk, tanda, lambang) dan signifie (yang ditandakan), antara parole (tuturan) dan langue (bahasa), dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas dan jelas ini ilmu bahasa dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang otonom, di mana fenomena bahasa dapat dijelaskan dan dianalisis tanpa mendasarkan dirt atas apa pun yang letaknya di luar bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang radikal dart pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Sistem dan metode linguistik mulai berkembang secara ilmiah dan menghasilkan teori-teori yang segera dapat diterima secara luas. Keberhasilan studi linguistik kemudian diikuti oleh berbagai cabang ilmu lain seperti antropologi, filsafat, psikoanalisis, puisi, dan analisis cerita.


2). Jan Mukarovsky

Memperkenalkan konsep kembar artefakta-objek-estetik. Sastra dianggap sebagai sebuah fakta semiotik yang tetap. Teks-teks sastra dianggap sebagai suatu tanda majemuk dalam konteks luas yang meliputi sistem-sistem sastra dan sosial.


3). Sklovsky

Mengembangkan konsep otomatisasi dan deotomatisasi, yang serupa dengan konsep Roman Jakobson tentang familiarisasi dan defamiliarisasi. Dasar anggapan mereka adalah bahwa bahasa sastra sering kali memunculkan gaya yang berbeda dari gaya bahasa sehari-hari maupun gaya bahasa ilmiah. Struktur bahasa ini pun sering kali menghadirkan berbagai pola yang menyimpang dan tidak biasa.


4). Roland Barthes dan Julia Kristeva (Strukturalisme Perancis)

Mengambangkan seni penafsiran struktural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. Melalui kode bahasa itu, diungkapkan kode-kode retorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan bahwa sebuah karya sastra haruslah dipandang secara otonom. Puisi khususnya dan sastra umumnya harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrinsiknya). Keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasanya yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspek-aspek ekstrinsik seperti ideologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.


2. Sejarah

          Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup panjang dan berkembang secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya, strukturalisme di Perancis tidak memiliki kaftan erat dengan strukturalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semua pemikiran strukturalisme dapat dipersatukan dengan adanya pembaruan dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Jadi walaupun terdapat banyak perbedaan antara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa mereka semua memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Saussure (Bertens, 1985: 379-381).


        Teori resepsi pembaca berusaha mengkaji hubungan karya sastra dengan resepsi (penerimaan) pembaca. Dalam pandangan teori ini, makna sebuah karya sastra tidak dapat dipahami melalui teks sastra itu sendiri, melainkan hanya dapat dipahami dalam konteks pemberian makna yang dilakukan oleh pembaca. Dengan kata lain, makna karya sastra hanya dapat dipahami dengan melihat dampaknya terhadap pembaca. Karya sastra sebagai dampak yang terjadi pada pembaca inilah yang terkandung dalam pengertian konkretisasi, yaitu pemaknaan yang diberikan oleh pembaca terhadap teks sastra dengan cara melengkapi teks itu dengan pikirannya sendiri. Tentu saja pembaca tidak dapat melakukan konkretisasi sebebas yang dia kira karena sebenarnya konkretisasi yang dia lakukan tetap berada dalam batas horizon harapannya, yaitu seperangkat anggapan bersama tentang sastra yang dimiliki oleh generasi pembaca tertentu. Horizon harapan pembaca itu ditentukan oleh tiga hal, yaitu;

1. Kaidah-kaidah yang terkandung dalam teks-teks sastra itu sendiri,
2. Pengetahuan dan pengalaman pembaca dengan berbagai teks sastra, dan
3. Kemampuan pembaca menghubungkan karya sastra dengan kehidupan nyata.
Butir ketiga ini ditentukan pula oleh sifat indeterminasi teks sastra, yaitu kesenjangan yang dimiliki teks sastra terhadap kehidupan real atau nyata.
          Teori resepsi sastra beranggapan bahwa pemahaman kita tentang sastra akan lebih kaya jika kita meletakkan karya itu dalam konteks keragaman horizon harapan yang dibentuk dan dibentuk kembali dari zaman ke zaman oleh berbagai generasi pembaca. Dengan begitu, dalam pemahaman kita terhadap suatu karya sastra terkandung dialog antara horizon harapan masa kini dan masa lalu. Jadi, ketika kita membaca suatu teks sastra, kita tidak hanya belajar tentang apa yang dikatakan teks itu, tetapi yang lebih penting kita juga belajar tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri, harapan-harapan kita, dan bagaimana pikiran kita berbeda dengan pikiran generasi lain sebelum kita. Semua ini terkandung dalam horizon harapan kita.
          Konsep Teori strukturalisme murni yang paling pokok ditunjukan ialah peranan unsur-unsur dalam pembentuk totalitas, kaitannya secara fungsional diantara unsur-unsur tersebut, sehingga totalitas tidak dengan sendirinya sama dengan jumlah unsur -unsurnya.
Menurut Jean Peagnet ada tiga dasar konsep strukturalisme:
1.Unsur kesatuaan sebagai koherensi internal dan pembentuk totalitas
2.Transformasi sebagai bentuk bahan-bahan baru secara terus menerus dan terjadinya saling keterkaitan antar unsur tadi
3.Regulasi diri (self regulating) yakni mengadakan perubahan kekuaatan dari dalam dan unsur-unsur tadi saling mengatur dirinya sendiri.
          Prosedur (metode) teori yang digunakan adalah metode struktural yakni suatu metode yang cara kerjanya membongkar secara struktural unsur-unsur interistik karya sastra yang meliputi didalamnya kebulatan makna, diksi, rima, struktur kalimat, tema, plot, setting, karakter, dan lainnya. Dalam unsu-unsur yang dipaparkan tadi berperan sebagai pembentuk totalitas, selanjutnya terjadi saling keterkaitan antar unsur tadi (transformatif) dan terakhir regurasi diri (self regulating) yakni unsure-unsur tadi saling mengatur dirinya sendiri.
         Asumsi karya sastra berdasarkan teori strukturalisme murni karya satra di pandang dari aspek dalamnya saja yakni konsep bentuk dan isinya saja. Sebagaimana yang di kemukakan oleh Ferdinand de Sausere yang intinya berkaitan dengan konsep Sign dan Meaning (bentuk dan isi) atau seperti yang dikemukakan oleh Luxemburg sebagai signifiant-signifei dan paradigm-syntagma. Pengertiaannya adalah tanda atau bentuk bahasa merupakan unsur pemberi arti dan yang di artikan. Dari dua unsur itulah ditemukan sebuah realitas yang saling berkaitan. Karena itu untuk memberi makna yang tertuang dalam karya sastra, penela’ah harus bisa mencarinya berdasarkan telaah struktur yang dalam hal ini terrefleksi melalui unsur bahasa.


Kelebihan dari teori strukturalisme murni adalah sebagai berikut:

1. Teori stukturalisme murni hampir seluruh bidang kehidupan manusia baik itu dalam laju perkembangan IPTEK, dalam menunjang sarana pra sarana penelitian secara global, dan dalam bidang sastra memicu berkembangnya genre sastra dan lainnya.
2. Menumbuhkan prinsif antarhubungan baik itu hubungan masyarakat dengan sastra,, minat mayarakat terhadap penelitaan inter disipliner, memberi pengaruh terhadap berkembangnya teori sastra.
3. Dianggap sebagai salah satu teori modern yang berhasil membawa manusia pada pemahaman yang maksimal.


Kekurangan ataupun kelemahan dari teori strukturalisme murni ini disebabkan karena teori ini hanya menekankan otonomi dan prinsif objektifitas pada struktur karya sastra yang memiliki beberapa kelemahan pokok ialah sebagai berikut:

1. Karya sastra diasingkan dari konteks dan fungsinya sehingga sastra kehilangan relevensi sosialnya, tercabutnya dari sejarah, dan terpisah dari permasalahan manusia.
2. Mengabaikan pengarang (penulis) sebagai pemberi makna dalam penafsiran terhadap karya sastra. Ini sangat krusial sekali dan berbahaya karena penafsiran tersebut akan mengorbankan cirri khas kepribadian, cita-cita dan juga norma-norma yang di pegang teguh oleh pengarang tersebut dalam kultur sosial tertentu.
3. Otomatis keobjektifitasannya akan diragukan lagi karena memberi kemungkinan lebih besar terhadap campur tangan pembaca didalam penafsiran karya sastra tersebut.
4. Karya sastra tidak dapat diteliti lagi dalam rangka konvensi-konvnsi kesusastraan sehingga pemahaman kita terhadap terhadap genre dan system sastra sangat terbas sekali.

Senin, 10 November 2014

Analisis Struktural Untuk Karya Sastra di Indonesia

Di Indonesia juga sudah banyak analisis struktur yang dihasilkan baik sebagai sebuah skripsi sarjana, atau dalam proyek (Pusat Bahasa, Fakultas Sastra dll), ataupun dalam ruangan Sorotan yang dimulai oleh Jassin, kemudian terdapat dalam banyak suratkabar dan majalah lain. Tetapi sering analisis semacam itu kurang mendalam dan terpadu. Yang baik, misalnya, beberapa tulisan Umar Junus sejak tahun 1970, dan sejumlah studi Subagio Sastrowardoyo. Di bidang sastra Melayu klasik dapat disebut desertasi Achadiati Ikram mengenai Hikayat Sri Rama (1980) dan desertasi Sulastin Sutrisno mengenai Hikayat Hang Tuah (1978).

Berbagai contoh analisis struktural terhadap karya sastra Indonesia, dapat dibaca lebih lanjut dalam buku Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya karya Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo.

KELEMAHAN ANALISIS STRUKTURAL

Kelemahan terbesar dari strukturalisme adalah sifatnya yang sinkronistis. Sebuah karya sastra dianggap sebagai sebuah dunia tersendiri yang terlepas dari dunia lainnya. Padahal, sebuah karya sastra adalah cermin zamannya. Artinya, karya sastra yang dihasilkan seorang pengarang pada suatu kurun waktu tertentu merupakan gambaran dari kondisi kehidupan yang terdapat dalam kurun waktu tersebut. Di dalamnya terdapat gambaran tentang situasi sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dari kurun waktu (zaman) tersebut. Strukturalisme mengabaikan semua itu. Strukturalisme hanya "bermain-main" dengan bangunan bentuk dari sebuah karya sastra semata-mata. Aspek-aspek kesejarahan dari sebuah karya sastra tidak dibenarkan untuk dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Dapatlah dipahami jika teori strukturalisme diposisikan sebagai teori sastra yang a-historis. Seorang pengarang tidaklah menulis dalam sebuah ruang kosong. Ia menulis dalam sebuah ruang yang di dalamnya penuh dengan berbagai persoalan kehidupan. Persoalan-persoalan itu tentulah mempengaruhi alam pikiran pengarang ketika membuat karangannya. Kondisi itu diabaikan oleh teori strukturalisme.

Teori Strukturalisme
Teori strukturalisme sastra merupakan sebuah teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks. Unsur-unsur teks secara berdiri sendiri tidaklah penting. Unsur-unsur itu hanya memperoleh artinya di dalam relasi, baik relasi asosiasi ataupun relasi oposisi. Relasi-relasi yang dipelajari dapat berkaitan dengan mikroteks (kata, kalimat), keseluruhan yang lebih luas (bait, bab), maupun intertekstual (karya-karya lain dalam periode tertentu). Relasi tersebut dapat berwujud ulangan, gradasi, ataupun kontras dan parodi (Hartoko, 1986: 135-136).
Istilah kritik strukturalisme secara khusus mengacu kepada praktik kritik sastra yang mendasarkan model analisisnya pada teori linguistik modern. Tetapi umumnya strukturalisme mengacu kepada sekelompok penulis di Paris yang menerapkan metode dan istilah-istilah analisis yang dikembangkan oleh Ferdinan de Saussure (Abrams, 1981: 188-190). Strukturalisme menentang teori mimetik, yang berpandangan bahwa karya sastra adalah ( tiruan kenyataan), teori ekspresif, yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang, dan menentang teori-teori yang menganggap sastra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.
Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yangcukup panjang dan berkembang secara dinamis. Dalam perkembangan itu terdapat banyak konsep dan istilah yang berbeda-beda, bahkan saling bertentangan. Misalnya, strukturalisme di Perancis tidak memiliki kaitan erat dengan strukturalisme ajaran Boas, Sapir, dan Whorf di Amerika. Akan tetapi semua pemikiran strukturalisme dapat dipersatukan dengan adanya pembaruan dalam ilmu bahasa yang dirintis oleh Ferdinand de Saussure. Jadi walaupun terdapat banyak perbedaan antara pemikir-pemikir strukturalis, namun titik persamaannya adalah bahwa mereka semua memiliki kaitan tertentu dengan prinsip-prinsip dasar linguistik Saussure (Bertens, 1985: 379381).
-Ferdinand de Saussure meletakkan dasar bagi linguistik modernmelalui mazhab yang didirikannya, yaitu mazhab Jenewa. Menurut Saussure prinsip dasar linguistik adalah adanya perbedaan yang jelas antara signifiant (bentuk, tanda, lambang) dan signifie (yang ditandakan), antara parole (tuturan) dan langue (bahasa), dan antara sinkronis dan diakronis. Dengan klasifikasi yang tegas dan jelas ini ilmu bahasa dimungkinkan berkembang menjadi ilmu yang otonom, di mana fenomena bahasa dapat dijelaskan dan dianalisis tanpa mendasarkan diri atas apa pun yang letaknya di luar bahasa. Saussure membawa perputaran perspektif yang radikal dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. Sistem dan metode linguistik mulai berkembang secara ilmiah dan menghasilkan teori-teori yang segera dapat diterima secara luas. Keberhasilan studi linguistik kemudian diikuti oleh berbagai cabang ilmu lain seperti antropologi, filsafat, psikoanalisis, puisi, dan analisis cerita.
Struktur bukanlah suatu yang statis, tetapi merupakan suatu yang dinamis karena didalamnya memiliki sifat transformasi. Karena itu, pengertian struktur tidak hanya terbatas pada struktur (structure), tetapi sekaligus mencakup pengertian proses menstruktur (structurant) (Peaget dalam Sangidu, 2004: 16). Dengan demikian, teori struktural adalah suatu disiplin yang memandang karya sastra sebagai suatu struktur yang terdiri atas beberapa unsur yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya.

2.2  Kelemahan Teori Struktural
Kelemahan terbesar dari strukturalisme adalah sifatnya yang sinkronistis. Sebuah karya sastra dianggap sebagai sebuah dunia tersendiri yang terlepas dari dunia lainnya. Padahal, sebuah karya sastra adalah cermin zamannya. Artinya, karya sastra yang dihasilkan seorang pengarang pada suatu kurun waktu tertentu merupakan gambaran dari kondisi kehidupan yang terdapat dalam kurun waktu tersebut. Di dalamnya terdapat gambaran tentang situasi sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan dari kurun waktu (zaman) tersebut. Strukturalisme mengabaikan semua itu. Strukturalisme hanya "bermain-main" dengan bangunan bentuk dari sebuah karya sastra semata-mata. Aspek-aspek kesejarahan dari sebuah karya sastra tidak dibenarkan untuk dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Dapatlah dipahami jika teori strukturalisme diposisikan sebagai teori sastra yang a-historis. Seorang pengarang tidaklah menulis dalam sebuah ruang kosong. Ia menulis dalam sebuah ruang yang di dalamnya penuh dengan berbagai persoalan kehidupan. Persoalan-persoalan itu tentulah mempengaruhi alam pikiran pengarang ketika membuat karangannya. Kondisi itu diabaikan oleh teori strukturalisme.

2.3. Keilmiahan Teori Strukturalisme
Teori strukturalisme sastra, sesuai dengan penjelasan di atas, dapat dipandang sebagai teori yang ilmiah mengingat terpenuhinya tiga ciri ilmiah. Ketiga ciri itu adalah:
1.    Sebagai aktivitas yang bersifat intelektual, teori strukturalisme sastra mengarah pada tujuan yang jelas yakni eksplikasi tekstual,
2.    Sebagai metode ilmiah, teori ini memiliki cara kerja teknis dan rangkaian langkah-langkah yang tertib untuk mencapai simpulan yang valid, yakni melalui pengkajian ergosentrik,
3.    Sebagai pengetahuan, teori strukturalisme sastra dapat dipelajari dan dipahami secara umum dan luas serta dapat dibuktikan kebenaran cara kerjanya secara cermat.



Minggu, 09 November 2014

Pendekatan Struktural dalam Penelitian Sastra

Oleh

ALFIAN ROKHMANSYAH

NIM 2150407005/Sastra Indonesia (Ilmu Sastra) S1
Universitas Negeri Semarang

Dalam penelitian karya sastra, analisis atau pendekatan obyektif terhadap unsur-unsur intrinsik atau struktur karya sastra merupakan tahap awal untuk meneliti karya sastra sebelum memasuki penelitian lebih lanjut (Damono, 1984:2).

Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra (Satoto, 1993: 32). Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masing-masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan struktural adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna.

Mengenai struktur, Wellek dan Warren (1992: 56) memberi batasan bahwa struktur pengertiannya dimasukkan kedalam isi dan bentuk, sejauh keduanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan estetik. Jadi struktur karya sastra (fiksi) itu terdiri dari bentuk dan isi. Bentuk adalah cara pengarang menulis, sedangkan isi adalah gagasan yang diekspresiakan pengarang dalam tulisannya (Zeltom, 1984: 99). Menurut Jan Van Luxemburg (1986: 38) struktur yang dimaksudkan, mengandung pengertian relasi timbal balik antara bagian-bagiannya dan antara keseluruhannya.

Struktur karya sastra (fiksi) terdiri atas unsur unsur alur, penokohan, tema, latar dan amanat sebagai unsur yang paling menunjang dan paling dominan dalam membangun karya sastra (fiksi) (Sumardjo, 1991:54).

1. Alur (plot)

Dalam sebuah karya sastra (fiksi) berbagai peristiwa disajikan dalam urutan tertentu (Sudjiman, 1992: 19). Peristiwa yang diurutkan dalam menbangun cerita itu disebut dengan alur (plot). Plot merupakan unsur fiksi yang paling penting karena kejelasan plot merupakan kejelasan tentang keterkaitan antara peristiwa yang dikisahkan secara linier dan kronologis akan mempermudah pemahaman kita terhadap cerita yang ditampilkan.

Atar Semi (1993: 43) mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dlam keseluruhan karya fiksi. Lebih lanjut Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2000: 113) mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Dalam merumuskan jalan cerita, pembaca dapat membuat atau menafsirkan alur cerita melalui rangkaiannya. Luxemburg memberikan kebebasan penuh dalam menafsirkan atau membangun pemahaman dari jalannya cerita. Alur bisa dilihat sebagai konstruksi yang dibuat oleh pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa atau kejadian yang saling berkaitan secara logis dan kronologis, serta aderetan peristiwa itu diakibatkan dan dialami oleh para tokoh (1986: 112).

Karena alur berusaha menguraikan jalannya cerita mulai awal sampai akhir cerita, maka secara linier bentuk alur atau struktur cerita seperti dikemukakan Nurgiyantoro yaitu dari tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Tahap penyuntingan, tahap ini pengarang memperkenalkan tokoh-cerita melukiskan situasi latar, sebagai tahap pembukaan cerita, pembagian informasi awal dan teruptama untuk melandasi cerita yang akan dilkisahkan pada tahap berikutnya.
b. Tahap pemunculan konflik yang berkembang atau merupakan awal munculnya konflik yang berkembang atau dikembangkan menjadi komflik pada peningkatan konflik, pada tahap ini konflik berkembang atau dikembangkan tahap berikutnya.
c. Tahap kadar intensitasnya. Konflik-konflik yang terjadi baik itu internal, eksternal ataupun kedua-duanya.
d. Tahap klimaks, pada tahap ini pertentangan yang terjadi dialami atau ditampilkan pada tokoh mencapai titik intensitas puncak klimaks cerita akan dialami tokoh utama sebagai pelaku dan penderita terjadinya konflik, pada tahap ini merupakan tahap penentuan nasip tokoh.
e. Tahap penyelesaian, pada tahap ini keteganangan dikendorkan diberi penyelesaian dan jalan keluar untuk kemudian diakhiri (2000: 150).

Masih mengenai alur (plot), secara estern Mursal (1990: 26) merumuskan bahwa alur bisa bermacam-macam, seperti berikut ini:
a. Alur maju (konvensional Progresif ) adalah teknik pengaluran dimana jalan peristriwanta dimulai dari melukiskan keadaan hingga penyelesaian.
b. Alur mundur (Flash back, sorot balik, regresif), adalah teknik pengaluran dan menetapkan peristiwa dimulai dari penyelesaian kemudian ke titik puncak sampai melukiskan keeadaan.
c. Alur tarik balik (back tracking), yaitu teknik pengaluran di mana jalan cerita peristiwanya tetap maju, hanya pada tahap-tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang (1990: 26)

Melalui pengaluran tersebut diharapkan pembaca dapat mengetahui urutan-urutan atau kronologis suatu kejadian dalam cerita, sehingga bisa dimengerti maksud cerita secara tepat.

2. Tokoh
Dalam pembicaraan sebuah fiksi ada istilah tokoh, penokohan, dan perwatakan. Kehadiran tokoh dalam cerita fiksi merupakan unsur yang sangat penting bahkan menentukan. Hal ini karena tidak mungkin ada cerita tanpa kehadiran tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya gerak tokoh yang akhirnya menbentuk alur cerita. Rangkaian alur cerita merupakan hubungan yang logis yang terkait oleh waktu.

Pendefinisian istilah tokoh, penokohan dan perwatakan banyak diberikan oleh para ahli, berikut ini beberapa definisi tersebut:
a. Tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku cerita (Nurgiyantoro, 2000: 165)
b. Penokohan adalah bagaimana pengarang menampilkana tokoh-tokoh dalam ceritanya dan bagaimana tokoh-tokoh tersebut, ini berarti ada dua hal penting, yang pertama berhubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak atau kepribadian tokot-tokoh tersebut (Suroto, 1989: 92-93).
c. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas peribadi seorang tokoh (Nurgiyantoro, 2000: 165).
d. Penokohan atau karakter atau disebut juga perwatakan merupakan cara penggambaran tentang tokoh melalui perilaku dan pencitraan. Panuti Sudjiman mencerikan definisi penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (1992: 23).
e. Menurut Hasim dalam (Fanani, 1997: 5) bahwa penokohan adalah cara pengarang untuk menampilkan watak para tokoh di dalam sebuah cerita karena tanpa adanya tokoh, sebuah cerita tidak akan terbentuk.

Untuk mengenal watak tokoh dan penciptaan citra tokoh terdapat beberapa cara, yaitu:
a. Melalui apa yang diperbuat oleh tokoh dan tindakan-tindakannya, terutama sekali bagaimana ia bersikap dalam situasi kritis.
b. Melalui ucapan-ucapan yang dilontarkan yokoh.
c. Melalui penggambaran fisik tokoh. Penggambaran bentuk tubuh, wajah dan cara berpakaian, dari sini dapat ditarik sebuah pendiskripsian penulis tentang tokoh cerita.
d. Melalui jalan pikirannya, terutama untuk mengetahui alasan-alasan tindakannya.
e. Melalui penerangan langsung dari penulis tentyang watak tokoh ceritanya. Hal itu tentu berbeda dengan cara tidak langsung yang mengungkap watak tokoh lewat perbuatan, ucapan, atau menurut jalan pikirannya (Sumardja, 1997: 65-66).

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh, tokoh cerita dibedakan menjadi dua yaitu tokoh utama (central character, main character)dan tokoh tambahan (pheripheral character) (Nurgiyantoro, 2000: 176-178).

Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya. Tokoh ini tergolong penting. Karena ditampilkan terus menerus sehingga terasa mendominasi sebagian besar cerita. Karena tokoh utama paling banyak ditampilkan ada selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain, ia sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.

Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itu bersifat gradasi, keutamaannya bertingkat maka perbedaan antara tokoh utama dan tambahan tidak dapat dilakukan secara pasti.

Karena tokoh berkepribaduian dan berwatak, maka dia memiliki sifat-sifat karakteristik yang dapat dirumuskan dalam tiga dimensi, yaitu ;
a. Dimensi fisiologis, adalag ciri-ciri badan, misalnya usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaaan tubuh, ciri-ciri muka, dan lain sebagainya.
b. Dimensi sosiologis, adalah ciri kehidupan masyarakat, misalnya status sosial, pekerjaan, peranan dalan masyarakat, tingkat pendidikan, dan sebagainya.
c. Dimensi psikologis, adalah latar belakang kejiwaan, misalnya mentalitas, tingkat kecerdasan dan keahliannkhusus dalam bidang tertentu (satoto, 1993: 44-45).

3. Latar (setting)

Kehadiran latar dalam sebuah cerita fiksi sangat penting. Karya fiksi sebagai sebuah dunia dalam kemungkinan adalah dunia yang dilengkapi dengan tokoh penghuni dan segala permasalahannya. Kehadiran tokoh ini mutlak memerlukan ruang dan waktu.

Lartar atau setting adalah sesuiatu yang menggambarkan situasi atau keadaan dalam penceriteraan. Panuti Sudjiman mengatakan bahawa latar adalah segala keterangan, petunjut, pengacuan yang berkaiatan dengan waktu, ruang dan suasana (1992: 46). Sumardjo dan Saini K.M. (1997: 76) mendefinisikan latar bukan bukan hanya menunjuk tempat, atau waktu tertentu, tetapi juga hal-hal yang hakiki dari suatu wilayah, sampai pada pemikiran rakyatnya, kegiatannya dan lain sebagianya.

Latar atau setting tidak hanya menyaran pada tempat, hubungan waktu maupun juga menyaran pada lingkungan sosial yang berwujud tatacara, adat istiadat dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan.
a. Latar tempat
Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat berupa tempat-tempat yang dapat dijumpai dalam dunia nyata ataupun tempat-tempat tertentu yang tidak disebut dengan jelas tetapi pembaca harus memperkirakan sendiri. Latar tempat tanpa nama biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu misalnya desa, sungai, jalan dan sebagainya. Dalam karya fiksi latar tempat bisa meliputi berbagai lokasi.
b. Latar waktu
Latar waktu menyaran pada kapan terjadinyaperistiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan sejarah. Pengetahuan dan persepsi pembaca terhadap sejarah itu sangat diperlukan agar pembaca dapat masuk dalam suasana cerita.
c. Latar sosial
Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalan karya fiksi. Perilaku itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, pandangan hidup, pola pikir dan bersikap. Penandaan latar sosial dapat dilihat dari penggunaan bahasa daerah dan penamaan terhadap diri tokoh.

4. Tema dan amanat

Secara etimologis kata tema berasal dari istilah meaning, yang berhubungan arti, yaitu sesuatu yang lugas, khusus, dan objektif. Sedangkan amanat berasal dari kata significance, yang berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang kias, umun dan subjektif, sehingga harus dilakukan penafsiran. Melalui penafsiran itulah yang memungkinkan adanya perbedaan pendapat (Juhl dalam Teeuw, 1984: 27). Baik pengertian tentang “arti” maupun “makna” keduanya memiliki fungsi yang sama sebagai penyampai gagasan atau ide kepengarangan.

Lebih jauh Sudjiman memberikan pengertian bahwa tema merupakan gagasan, ide atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra (1992:52). Dari sebuah karya sastra adakalanya dapat diangkat suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang, itulah yang disebut amanat. Jika permasalahan yang diajukan juga diberi jalan keluarnya oleh pengarang, makan jalan keluarnya itulah yang disebut amanat. Amanat yang terdapat pada sebuah karya sastra, bisa secara inplisit ataupun secara eksplisit. Implisit jika jalan keluar atau ajaran moral diisyaratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasehat, dan sebagainya. (Sudjiman, 1992: 57-58).

DAFTAR PUSTAKA

1. Amir, Hasim. 1990. Pendidikan Sastra Lanjut. Malang: Penyelenggara Pendidikan Pascasarjana, Proyek peningkatan perguruan tinggi.
2. Damono, Sapardi Joko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: PPPB Dep. P dan K.
3. Damono, Sapardi Joko. 1984. Kesusastraan Indonesia Modern : Beberapa Catatan. Jakarta: Gramedia.
4. Esten, Mursal. 1990. Kesusastraan: Pengantar Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.
5. Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: UGM Press.
6. Griffith, Jr. Kelley. 1990. Writing Essays about Literature: A Guide and Style Sheet. New York: Harcout, Brave Javonovich.
7. Hardjana, Andre. 1991. Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa.
8. Luxemburg, Jan Van, Meikel Basl, Willem G Westeijn. 1986. Pengantar Ilmu Sastra (terj. Dick Hartoko), Jakarta: Gramedia.
9. Nurgiyantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta.: Gajah Mada University Press.
10. Satoto, Soediro. 1993. Metode Penelitian Sastra. Surakarta: UNS Press.
11. Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Jakarta: Angkasa raya
12. Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
13. Sudjiman, Panuti. 1996. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
14. Sumardjo, Jakop dan Saini K.M. 1997. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia.
15. Teeuw, A. 1984. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
16. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Gramedia.
17. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1994. Teori Kesusastraan. (Terj. Melani Budianta) Jakarta: Gramedia.